1. Peserta Didik
Peserta didik
berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian
oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang
otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas
dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus-menerus
guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik
ialah:
a). Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang
khas, sehingga merupakan insan yang
unik.
b). Individu yang sedang berkembang.
c). Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan
manusiawi.
d). Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.
Penjelasan butir-butir tersebut adalah sebagai berikut:
a. Individu yang memiliki potensi fisik dan
psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik. Anak
sejak lahir telah memiliki potensi-potensi yang ingin dikembangkan dan
diaktualisasikan. Untuk mengaktualisasikannya membutuhkan bantuan dan
bimbingan.
b. Individu yang sedang berkembang.Yang
dimaksud dengan perkembangan di sini adalah perubahan yang terjadi dalam diri
peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri sendiri maupun ke arah
penyesuaian dengan lingkungan. Sejak manusia lahir bahkan sejak masih berada
dalam kandungan, ia berada dalam proses perkembangan. Proses perkembangan ini
melalui suatu rangkaian yang bertingkat-tingkat. Tiap tingkat (fase) mempunyai
sifat-sifat khusus. Tiap fase berbeda dengan fase lainnya. Anak yang berada
pada fase bayi berbeda dengan fase remaja, dewasa, dan orang tua.
Perbedaan-perbedaan ini meliputi perbedaan minat, kebutuhan, kegemaran, emosi,
intelegensi, dan sebagainya. Perbedaan tersebut harus diketahui oleh pendidik
pada masing-masing tingkat perkembangan tersebut. Atas dasar itu pendidikan
dapat mengukur kondisi dan strategi yang relevan dengan kebutuhan peserta
didik.
c. Individu
yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.Dalam
proses perkembangannya, peserta didik membutuhkan bantuan dan bimbingan. Bayi
yang baru lahir secara badani dan hayati tidak terlepas dari ibunya, seharusnya
setelah ia tumbuh berkembang menjadi dewasa ia sudah dapat hidup sendiri.
Tetapi kenyataannya untuk kebutuhan perkembangan hidupnya, ia masih
menggantungkan diri sepenuhnya kepada orang dewasa, sepanjang ia belum dewasa.
Hal ini menunjukkan bahwa pada diri peserta didik ada dua hal yang menggejala:
- Keadaannya yang tidak berdaya menyebabkan ia
membutuhkan bantuan. Hal ini menimbulkan kewajiban orang tua untuk
membantunya.
- Adanya kemampuan untuk mengembangkan
dirinya, hal ini membutuhkan bimbingan. Orang tua berkewajiban untuk
membimbingnya. Agar bantuan dan bimbingan itu mencapai hasil maka harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak.
d. Individu
yang memiliki kemampuan untuk mandiri. Dalam
perkembangan peserta didik, ia mempunyai kemampuan untuk berkembang ke arah
kedewasaan. Pada diri anak ada kecenderungan untuk memerdekakan diri. Hal ini
menimbulkan kewajiban pendidik dan orang tua (si pendidik) untuk setapak demi
setapak memberikan kebebasan dan pada akhirnya mengundurkan diri. Jadi,
pendidik tidak boleh memaksakan agar peserta didik berbuat menurut pola yang
dikehendaki pendidik. Ini dimaksud agar peserta didik memperoleh kesempatan
memerdekakan diri dan bertanggung jawab sesuai dengan kepribadiannya sendiri.
Pada saat ini si anak telah dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri.
Salah satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya kode etik
yang menjadi pedoman bersikap dan berperilaku bagi para penyandang profesi yang
bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005,
secara tegas dinyatakan bahwa guru adalah tenaga profesional yang berkewajiban
untuk senantiasa menjunjung tinggi Kode Etik Guru, agar kehormatan dan martabat
guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalannya dapat terpelihara. Kode Etik
Guru berisi seperangkat prinsip dan norma moral yang melandasi pelaksanaan
tugas dan layanan profesional guru, sesuai dengan nilai-nilai agama,
pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.
Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap
potensi siswanya secara optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang menjadi
manusia-manusia yang cerdas, baik cerdas secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual. Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang
diembannya, guru senantiasa
berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswanya. Dalam konteks tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan
profesional, yang diikat oleh kode etik. Berikut ini disajikan
nilai-nilai dasar dan operasional yang membingkai sikap dan perilaku etik
guru dalam berhubungan dengan siswa, sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI):
1.
Guru
berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
2.
Guru
membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai
individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
3.
Guru mengetahui
bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan
masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
4.
Guru menghimpun
informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses
kependidikan.
5.
Guru secara
perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan,
memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan
belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
6.
Guru menjalin
hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan
menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah
pendidikan.
7.
Guru berusaha
secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangan negatif bagi peserta didik.
8.
Guru secara
langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk
berkarya.
9.
Guru menjunjung
tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat
peserta didiknya.
10. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya
secara adil.
11. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi
kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
12. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun
dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
13. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi
peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar,
menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
14. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi peserta didiknya
untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan,
hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
15. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan
profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma
sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
16. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan
profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
pribadi.
Dalam kultur Indonesia, hubungan guru dengan siswa sesungguhnya tidak hanya terjadi pada saat sedang
melaksanakan tugas atau selama berlangsungnya pemberian pelayanan pendidikan.
Meski seorang guru sedang dalam keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah
lama meninggalkan tugas (purna bhakti), hubungan dengan siswanya (mantan siswa)
relatif masih terjaga. Bahkan di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap
patuh pada guru” (dalam bahasa psikologi, guru
hadir sebagai “reference group”).
Meski secara formal, tidak lagi menjalankan tugas-tugas
keguruannya, tetapi hubungan batiniah antara guru dengan siswanya masih relatif
kuat, dan sang siswa pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang
diajarkan gurunya.
Dalam keseharian kita melihat
kecenderungan seorang guru ketika bertemu dengan siswanya yang sudah
sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan tetap menampilkan sikap
dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud yang berbeda dengan semasa
masih dalam asuhannya. Dukungan dan kasih sayang akan dia
tunjukkan. Aneka nasihat, petatah-petitih akan meluncur dari mulutnya.
Begitu juga dengan sang siswa, sekalipun dia sudah meraih
kesuksesan hidup yang jauh melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan
atau ilmu pengetahuan, dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat, yang
diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan,
menganggukkan kepala, hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan
dihitung dari nilai uangnya. Inilah salah satu
kebahagian seorang guru, ketika masih bisa sempat menyaksikan putera-puteri
didiknya meraih kesuksesan hidup. Rasa
hormat dari para siswanya itu bukan muncul secara otomatis tetapi justru
terbangun dari sikap dan perilaku profesional yang ditampilkan sang guru ketika
masih bertugas memberikan pelayanan pendidikan kepada putera-puteri didiknya.
Belakangan ini muncul keluhan dari
beberapa teman yang menyatakan bahwa anak-anak sekarang kurang menunjukkan rasa
hormatnya terhadap guru. Jangankan setelah mereka lulus, semasa dalam
pengasuhan pun mereka kadang bersikap kurang ajar. Jika memang benar adanya,
tentu hal ini sangat memprihatinkan. Adalah hal yang kurang bijak jika kita
hanya bisa menyalahkan mereka, tetapi mari kita berusaha merefleksi
kembali hubungan kita dengan putera-puteri didik kita, sejauhmana kita
telah menjalin hubungan dengan putera-puteri didik kita, dengan didasari
nilai-nilai sebagaimana diisyaratkan dalam kode etik di atas. Jangan-jangan
itulah faktor penyebab sesungguhnya.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa hubungan
guru dengan siswa tidak hanya
dikemas dalam bahasa profesional tetapi juga dalam konteks kultural. Oleh
karena itu, mari kita (saya dan Anda semua) terus belajar untuk sedapat mungkin
berusaha menjaga kode etik guru, kita jaga hubungan dengan putera-puteri didik
kita secara profesional dan kultural, agar kita tetap menjadi guru yang
sejatinya.
No comments:
Write komentar